Oleh:
Didi Suheri
PC PMII Karawang
Geliat gerakan politik praktis mulai terasa di forum tertinggi PMII yang di sebut dengan Kongres, kongres sering diplesetkan artinya menjadi "kongko teu beres-beres" dalam bahasa sunda. Mungkin pelesetan itu ada benarnya, terbukti beberapa kongres kebelakang, selalu saja molor dengan jadwal yang ditentukan, hampir berminggu-minggu kita di paksa beradu strategi, beradu otot, menahan tekanan dari senior yang maha dahsyat, yang membuat kita geleng-geleng kepala sambil menahan mual karena dijejali iming-iming, inilah, itulah sedangkan Haji iming saja masih konsisten dengan produk peci hitamnya, konsistensi itulah nama haji iming meroket, walau dirinya sendiri mungkin saja tidak tahu namanya meroket, ah jangan terlalu dianggap serius, itu hanya celoteh saja biar otot-otot kita tidak tegang menghadapi kongres.
Kongres Palu kali ini agak berbeda dibandingkan dengan kongres sebelumnya, tumben forum formal yang biasanya menggunakan kursi, disulap menjadi lesehan, duduk di kolong masjid dengan karpet layaknya menonton pagelaran wayang.
Luar biasa, ongkos menjadi ketua umum PB PMII, hampir-hampir sama nyalon DPR RI. Senior-senior turun gunung demi pemenangan calon pilihannya.
Rupa-rupa sudah kelakuan para keder, saling bangku hantam, kejar-kejaran, ada juga yang orasi dan nyebar-nyebar pamflet sampai mau di pentung sama polisi, demi menghindari pentungan si provokator pun lari terbirit-birit sambil memegang selongsong putih, yang kata orang kalau belum pegang selongsong putih belum sah jadi aktivisnya. Banyak motif untuk mengikuti kongres ini, selain memenangkan calon, ada juga yang ingin menunjukan keahliannya berdialektika, negosiasi, ada yang hanya jalan-jalan, ada juga yang nyari jodoh. Dalam momentum kongres saya merasa tidak ada kebersamaan, tidak adanya rasa saling memiliki, buktinya banyak kader yang cuek bebek bila bertemu dengan kader dari daerah lain, dalam kongres yang harus dibangun adalah persekawanan, ah jangan persekawanan deh, itu kan identik dengan "kakak", persahabatan aja biar terasa PMII nya, walau saya sendiri tidak tahu bagaimana rasanya PMII, manis, masam, asin, getir yang jelas PMII bukan buah yang sering pake cuci mulut tapi PMII itu buah bibir.
Ada juga yang lucu, sebuah instagram namanya saya sebutkan saja "Aktivis PMII", momen yang harusnya tidak perlu di share ke publik, ini malah di share, alhasil laku di tonton oleh ribuan orang, banyak juga yang minta di hapus, tapi yaaa tidak di gubris.
Demi suara, para calon mengeluarkan jurus tebar tiket, anggap saja suara ketua umum tataran cabang atau kordiantor cabang bisa di tukar dengan tiket. Berat sekali jadi ketua umum itu, seperti tempat penitipan akhitnya nanti, titip ini, titip itulah, sampai lupa ngurusin pengurus, eh lupa saya, masa pengurus harus di urus, tugasnya pengurus yaa harus mau ngurus anggota dan kadernya, tapi jangan juga terus disuapin nanti mereka lupa caranya makan.
Menang kalah dalam politik adalah keniscayaan, yang menang harus merangkul yang kalah, yang kalah harus menghormati pemenang. Kekalahan dalam sebuah pertarungan di PMII khususnya, bukan akhir dari segalanya, saya memiliki keyakinan barang siapa bersungguh-sungguh merawat PMII, dia akan mendapatkan kebahagiaan, ingat kebahagiaan tidak di ukur dari materi, kalau kata Pak Mahbub, kebahagiaan itu letaknya ada didalam hati, bebaskan diri kita dari belenggu senior yang mengekang, jangan biarkan pemikiran kita mengangkang apalagi kalau melayang bagaikan layang-layang yang terputus dari benangnya, kehilangan arah yang akhirnya terombang ambing dalam lubang gelap menyerahkan raga pikiran ini terpasung dalam tiang gantungan politik setan.
Palu, 19 Mei 2017
Comments
Post a Comment