Oleh : Reza Fauzi Nazar
Penulis adalah alumni Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Sontak dari kejadian penamparannya, orang Yahudi itu datang mengadu kepada Nabi Muhammad yang memimpin kehidupan kota Madinah saat itu. Ia ceritakan apa yang terjadi. Maka Rasulullah pun dengan sigap memanggil Si Muslim dan berkata:
”Janganlah kau unggulkan aku atas Musa. Sebab di hari kiamat semua umat jatuh pingsan, dan aku pun jatuh pingsan bersama mereka. Dan aku—lah yang pertama bangkit dan sadar, tiba-tiba aku lihat Musa sudah berdiri di sisi Singgasana (Arsy). Aku tidak tahu, apakah ia tadinya juga jatuh pingsan lalu bangkit sadar sebelumku, ataukah dia adalah orang yang dikecualikan Allah”.Riwayat ini dikutip dari kitab Shahih Muslim. untuk lebih lengkapnya, riwayat ini dituliskan Imam Muslim dalam urutan hadits ke-4376 tentang keutamaan Nabi Musa.
Entah bagaimana, sepertinya kata-kata ucapan dari Baginda Rasulullah Saw itu luput tak berbekas dikalangan umat Muslim. Yang terjadi saat ini, bahkan sebagian ulama seolah merasa di atas Rasulullah: mereka merasa tahu keunggulan diri mereka sendiri. Sepertinya, mereka bahkan akan membenarkan tindakan si Muslim yang menampar si Yahudi. Pada akhirnya kemarahan menjadi sebuah hal yang lumrah dan “dibiarkan” mencuat.
Saya sering bingung. Satu kalimat suci terkadang bisa membuat orang jadi lembut, tapi satu kalimat lain dari sumber yang tentu saja sama bisa menghalalkan intimidasi, penindasan hingga pembunuhan. Tentu hal ini bisa memporak-porandakan keheningan, kesunyian, dan kerukunan juga memunculkan kasus SARA. Saya kira Muhammad Saw tak pernah menginginkan pertikaian antar agama sekalipun, bahkan dalam lingkup agama Islam sendiri.
Satu ungkapan menarik saya kutip, “Tuhan tak punya agama,” begitu salah satu ucapan Mahatma Gandhi.
Di Negeri India kalimat ini datang dari seorang yang dikenal alim, arif, dan adil. Agama, bagi Gandhi, seperti satu tanda yang bengis, yang dijadikan alat untuk menghalalkan segala cara. Maka terbit pikiran untuk menyelamatkan pengertian ”Tuhan” dari sempitnya pikiran dan jiwa yang mudah “marah” itu.
Tapi Gandhi adalah seorang India, dan ia telah lama tiada. Meninggal dengan cara tragis, ditembak tiga kali tepat di kepalanya, oleh seorang Hindu beraliran Nasionalis-India bernama Nathuram Godse. Dengan alasan ia dianggap berkhianat, Gandhi terlalu lunak kepada “musuh” dan dianggap mengganggu. Ia tak layak menyuarakan pandangannya bahwa agama mengajarkan cinta.
Bila Gandhi saat ini masih hidup, wajahnya sontak bisa kaget menyaksikan betapa ramai hingar bingarnya pelbagai permasalahan di Indonesia terutama masalah “agama” dari umat Muslim yang “tersakiti”. Syahdan, semua tahu dengan hal yang menjerat Ahok Gubernur DKI Jakarta beberapa bulan lalu yang mencuat. Hingga kini yang tinggal menunggu waktu, beberapa hari mendatang akan dijatuhi vonis hukuman.
Saya sebagai seorang aktor kehidupan yang mengalami “panas”-nya atmofser masalah di Indonesia tahun ini akan terus mengenang satu hal, kasus penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) Gubernur DKI Jakarta yang sebentar lagi digantikan oleh saingan politiknya, Anies Baswedan. Telah melahirkan aksi bela Islam atau bela Al-quran yang dinistakan oleh Ahok itu dengan agenda aksi yang berjilid-jilid. Dimulai sejak 411, 212, 112 dan baru ini 505 menggambarkan betapa Islam memang benar-benar “sepertinya” sedang “marah”. Dan Al-quran harus dibela, “Tuhan” harus dibela.
Lagipula, Gandhi adalah seorang Hindu, bukan seorang Muslim. Namun saya teringat ungkapan Gus Dur salah satu cucu ulama K.H Hasyim Asy’ari dan tentu seorang alim pula, bahwa “Tuhan tidak perlu dibela”. Tuhan sendirinya telah Agung. Dan Islam sudah tinggi “Al-islam ya’lu wa la yu’la alaih” Islam sudah amat sangat tinggi (mulia) dan tidak ada yang bisa menandinginya.
Memang setiap orang mempunyai penafsiran masing-masing mengenai agama yang mereka peluk, saya sebagai seorang Muslim tentu tidak menyalahkan aksi-aksi pembelaan terhadap Al-quran dan pembelaan akan agama Allah yang luhur ini, namun sangat disayangkan di Negara yang ber-bhineka tunggal ika ini, yang dilakukan para pembela agama Allah itu melahirkan satu gejala, yaitu Islamphobia. Hal ini terlihat dari maklumat Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin terkait ketentuan berdakwah di rumah ibadah, termasuk masjid.
Kasus di Indonesia terkait isu SARA ini sekilas seperti hanya dijadikan momentum politik untuk “menyerang” dan :menghegemoni”. Entahlah, karena hanya Tuhan yang mengetahui dan menghakimi saja, Goenawan Muhamad pernah menulis:
…kegagalan kita untuk memaafkan, kesediaan kita untuk mengakui dendam, adalah penerimaan tentang batas. Setelah itu adalah doa, pada akhirnya kita akan tahu bahwa kita bukan hakim yang terakhir. Kematian dengan demikian diberi tafsiran bukan sebagai lawan dari kehidupan, melainkan kelanjutannya. Di ujung sana Tuhan lebih tahu…
Ahok sudah kalah, Anies-Sandi yang “mewakili” representasi umat Islam vis a vis non-Muslim sang “penista” agama itu telah memenangkan kompetisi menempati posisi kepala daerah yang paling ter-”sentral” se-jagat Indonesia, semoga konflik SARA ini tak berlarut-larut dan berkepanjangan. Bahwa stabilitas harus dijaga. Dan tentu wibawa dan marwah Islam harus tetap luhur dengan prinsip tetap menjaga kesatuan Indonesia.
Hingga saat ini: kita harus mengakui, idaman akan stabilitas adalah idaman yang sangat dikehendaki adanya namun juga terkadang sia-sia. Konflik selalu terbentuk. Tiap negeri, kerajaan, atau republik, bagaimana—pun itu, terbentuk lewat persaingan, dan pergulatan hegemoni. Antagonisme tak pernah berakhir. Sejak Kautilya menulis “Arthasastra” di India abad ke-4 sebelum Masehi, sejak Machiavelli menulis “Il Principe” di Italia abad ke-16, sampai dengan kompetisi demokratik Pilkada DKI, para pemikir dan pelaku politik sadar: politik itu sejenis perang.
Akhirnya, sebagai seorang Muslim dan bagian dari masyarakat Indonesia, kita harus mengakui dan menjaga apa yang telah diajarkan Muhammad Saw, bahwa Islam tentu jauh dari prasangka Islam agama “marah”, namun Islam jelas-jelas agama yang “ramah”. Segala bentuk ke-“marahan” terhadap sang penista sudah selayaknya diredam.
Biarkan Hakim memberikan vonisnya kepada si “penista” itu, pulang—lah ke rumah kalian masing-masing dengan damai dan tak usah terprovokasi masalah si “penista” itu (lagi), karena ia telah jelas kalah. Tak perlu ada lagi aksi bela apapun namanya. Bubarkan GNPF badan yang tidak terlalu jelas itu, dan segera bersihkan segala gerakan Islam yang menghendakan berdirinya Negara Islam. Karena kita semua mafhum bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi harga mati. (*)
Comments
Post a Comment